A.
Judul
Percobaan
Tetapan Distribusi Iod dalam Sistem Kloroform-Air
B.
Tujuan
Percobaan
Menentukan tetapan distribusi iod
dalam pelarut air-kloroform dengan cara ekstraksi Batch.
C.
Landasan
Teori
Ekstraksi
pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut) di antara 2 fasa cair
yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan
secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organic maupun zat anorganik. Cara ini
juga dapat digunakan untuk analisis makro maupun mikro. Selain untuk
kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga banyak digunakan untuk
pekerjaan-pekerjaaan preparatif dalam bidang kimia organik, biokimia, dan
anorganik di laboratorium (Soebagio, 2002:34).
Ekstraksi
cair-cair (Liquid-Liquid Extraction (LLE)) adalah sistem pemisahan secara kimia
fisika dimana zat yang akan di ekstraksi, dalam hal ini asam-asam karboksilat
atau asam-asam lemak bebas yang larut dalam fasa air, dipisahkan dari fasa
airnya terlebih dahulu dengan menggunakan pelarut organik, yang tidak larut
dalam fasa air, secara kontak langsung baik kontinyu maupun diskontinyu
(Putranto, 2011:746).
Diantara
berbagai jenis metode pemisahan, ekstraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi
air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer. Alasan utamanya
adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro ataupun
mikro. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian,
memperkaya, pemisahan serta analisis pada semua skala kerja. Mula-mula metode
ini dikenal dalam kimia analisis, kemudian berkembang menjadi metode yang baik,
sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk ion-ion logam yang bertindak sebagai
tracer (pengotor) dan ion-ion logam dalam jumlah makrogram (Khopkar, 1990: 90).
Untuk memahami prinsip-prinsip dasar
ekstraksi, harus terlebih dahulu dibahas berbagai istilah yang digunakan untuk
menyatakan keefektifan pemisahan. Untuk suatu zat terlarut A yang
didistribusikan antara fase tak-tercampurkan a dan b hukum distribusi (partisi)
Nerust menyatakan, bahwa asal keadaan melekulnya sama dalam kedua cairan dan
temperatur adalah konstan:
Dimana KD adalah sebuah tetapan yang dikenal
sebagai koefesien distribusi (koefisien partisi). Hukum ini seperti dinyatakan
di atas secara termodinamis tidaklah benar-benar tepat (misalnya, tak
diperhitungkan aktivitas dari berbagai spesi itu, dan karenanya diharapkan
hanya akan berlaku dalam larutan encer dimana angka banding aktivitas itu
mendekati satu), tetapi merupakan suatu pendekatan yang berguna. Pada penerapan
praktis ekstraksi pelarut ini, kita tentukan dalam memperhatikan fraksi zat
terlarut total dalam fase satu atau yang lainnya, tidak peduli bagaimanapun
cara-cara disosiasi, atau interaksinya dengan spasi-spasi lain yang terlarut
(Basset, 1994 : 165).
Dalam ekstraksi
berlaku hukum distribusi, menyatakan bahwa jika ke dalam sistem dua cairan
tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka senyawa ini akan
terdistribusi ke dalam dua cairan tersebut. Contoh Iod dapat larut dalam
kloroform , jika larutan dikocok dengan kloroform maka akan terdistribusi ke
dalam ion air dan kloroform. Setelah tercapai keadaan setimbang, maka perbandingan
konsentrasi iod dalam air dan dalam kloroform akan tetap pada suhu yang tetap
pula (Tim Dosen Analitik, 2017 : 5).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila
suatu zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tak dapat campur, maka
pada suatu temperature yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka
banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding
distribusi ini tidak bergantungpada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada.
Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat
terlarut, dan temperature (Svehla, 1990:140).
Hukum Fase Gibb’s menyatakan bahwa P + V = C =
2 dimana P = fase, C = komponen, V = derajat kebebasan. Pada ekstraksi pelarut,
kita mempunyai P = 2, yaitu fase air dan organic, C = 1, yaitu zat terlarut di
dalam pelarut dan fase air pada temperature dan tekanan tetap, sehingga V = 1.
Jadi kita dapatkan ; 2 + 1 = 1 + 2, yaitu
P + V = C + 2.Menurut hukum distribusi Nernst, jika [X1]
adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 1 dan [X2] adalah
konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan X1
dan X2 di dapat KD dimana KD
= koefisien partisi. Partisi atau koefisien distribusi ini tidak bergantung
pada konsentrasi total zat terlarut pada kedua fase tersebut. Pada persamaan di
atas kita tidak menuliskan koefisien aktivitas zat pada fase organic maupun dalam fase air larutan (Khopkar, 1990: 85-86).
Zat-zat tertentu
lebih mudah larut dalam pelarut-pelarut tertentu dibandingkan dengan
pelarut-pelarut yang lain.. Lagipula bila cairan tertentu seperti karbon
disulfida dan air jika dikocok bersama-sama dalam suatu bejana dan campuran itu
kemudian didiamkan, maka kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Jika
iod dikocok bersama suatu campuran karbon disulfida dan air kemudian didiamkan,
maka iod akan dijumpai terbagi dalam kedua pelarut itu. Suatu keadaan
kesetimbangan terjadi antara larutan iod dalam air dan larutan iod dalam karbon
disulfida (Svehla, 1985: 139).
Titrasi iodometri di gunakan Na2S2O3
0,01 N sebagai titran yang sebelumnya telah di standarisasi terlebih
dahulu dengan kalium dikromat agar di ketahui normalitas sebenarnya dari Na2S2O3
yang di gunakan. Volume tiosulfat yang di gunakan pada saat titrasi menjelaskan
bahwa volume tiosulfat tersebut akan terus mengalami peningkatan seiring
bertambahnya waktu pada pemanasan pada saat pengujian (Suandi, 2017: 71-72).
Larutan natrium
tiosulfat sebagai larutan standar sekunder harus dititrasi dengan larutan
standar primer. Larutan standar primer yang dapat digunakan untuk
menstandarisasi larutan natrium tiosulfat adalah kalium dikromat (K2Cr2O7)
dalam larutan asam encer (0,2 – 0,4 M). kalium bikromat (KBrO3),
atau kalium iodat (KIO3). Kelemahan dari penggunaan KIO3
dan KBrO3 sebagai larutan standar primer adalah massa ekivalennya
yang kecil. Massa ekuivalen KIO3 adalah 35,67, dan KBrO3 adalah 27,84. Untuk dapat meminimalkan kesalahan yang biasanya sampel ditimbang dalam jumlah besar
dan dilarutkan dalam labu ukur (Pursitasari, 2014: 178).
Sebagai
indikator digunakan kanji yang merubah warna sesuatu larutan yang mengandung
iodin menjadi biru. Untuk menentukan jumlah klor aktif, iodin yang telah dibebaskan
oleh klor aktif tersebut dititrasikan dengan larutan standard natriumtiosulfat
sesuai reaksi diatas. Titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna
biru dari larutan. Asam asetik (HAs) harus digunakan untuk menurunkan pH
larutan sampai 3 atau 4 (Rahmayani, 2013:2).
D.
Alat
dan Bahan
1. Alat
a. Buret 50
mL 2
buah
b. Statif
dan klem 5
set
c. Corong
pisah 250 mL 3
buah
d. Labu
erlenmeyer tutup asa 6
buah
e. Pipet
volume 25 mL 1
buah
f. Pipet
volume 5 mL 1
buah
g. Ball
pipet 1
buah
h. Pipet
tetes 3
buah
i.
Stopwatch 1
buah
j.
Gelas kimia 50 mL 1
buah
k. Botol
semprot 1
buah
l.
Corong biasa 1
buah
m. Lap
kasar 1
buah
n. Lap
halus 1
buah
2. Bahan
a. Larutan
natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
b. Larutan
Iod (I2) 0,1 N
c. Kloroform
(CHCl3)
d. Indikator
amilum (C6H10O5)n
e. Aquades
(H2O)
f. Tissu
E.
Prosedur
Kerja
1. Standarisasi
larutan iod 0,1 N
a. Larutan
iod 0,1 N sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
b. Konsentrasi
iod yang sebenarnya ditentukan dengan titrasi iodometri, digunakan larutan standar
Na2S2O3.
c. Titrasi
dilakukan sebanyak 3 kali.
2. Menentukan
tetapan distribusi iod dalam pelarut air-kloroform
a. Sebanyak
3 buah corong pisah beserta statif disediakan.
b. Masing-masing
corong pisah diisi dengan 25 mL larutan Iod yang konsentrasi sebenarnya telah
diketahui.
c. Masing-masing
corong pisah ditambahkan 25 mL kloroform, kemudian dikocok selama 15 menit.
d. Corong
pisah didiamkan hingga kedua pelarut terpisah kembali.
e. Lapisan
klorofom (lapisan bawah) dikeluarkan dan ditampung dalam Erlenmeyer bertutup
asah.
f. Lapisan
air (lapisan atas) juga ditampung dlaam Erlenmeyer bertutup asah.
g. Lapisan
kloroform (lapisan bawah) dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3
hingga warna
merah coklat dalam lapisan tersebut hilang (tiitrasi dilakukan tanpa indicator
amilum).
h. Lapisan
air (lapisan atas) dititrasi dengan Na2S2O3
dengan indicator amilum.
F.
Hasil
Pengamatan
1.
Standarisasi larutan iod 0,1 N
No
|
Aktifitas
|
Hasil Pengamatan
|
1.
2
|
10 mL iod 0,1 N di
masukkan ke dalam erlenmeyer.
Larutan iod di standarisasi dengan larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3)
|
Larutan berwarna kuning
Volume Na2S2O3 yang digunakan
Titrasi I :
19,40 mL
Titrasi II :
19,40 mL
Titrasi III :
19,20 mL
|
2.
menentukan
tetapan distribusi iod dalam pelarut air – kloroform
No
|
Aktifitas
|
Hasil Pengamatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
24 mL
iod dimasukkan ke dalam corong pisah
25 mL
iod + 25 mL CHCl3 (ungu)
Larutan di kocok selama 15 menit
dan di diamkan
Lapisan atas (I2 dalam H2O) dititrasi dengan Na2S2O3
0,1 N dengan menggunakan indikator amilum
Lapisan bawah (I2 dalam
CHCl3) dititrasi
dengan Na2S2O3 0,1 N tanpa menggunakan
indikator amilum
|
Larutan berwarna kuning
Terbentuk dua lapisan
Lapisan atas :
air (H2O)
Lapisan bawah : kloroform (CHCl3)
Terbentuk dua lapisan
Lapisan atas : I2 dalam H2O
Lapisan bawah : I2
dalam CHCl3
Volume Na2S2O3
Titrasi I : 19,00
mL
Titrasi II : 19,00 mL
Titrasi III :
19,20 mL
Volume Na2S2O3
yang digunakan
Titrasi I :
24,00 mL
Titrasi II :
23,80 mL
Titrasi III : 24,00
mL
|
G.
Analisis
Data
a.
Penentuan Konsentrasi Iod Sebenarnya
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = V1 + V2 + V3
3
= 19,40 mL
+ 19,40 mL + 19,20
mL
3
= 58 mL
3
= 19,33 mL
V iod = 10 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 19,33 mL
10
mL
= 1,933 N
10
= 0,1933 N
b.
Konsentrasi Iod dalam masing-masing pelarut
1.
Corong 1
LapisanKloroform
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 24 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N
iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 24 mL
25 mL
= 2,4 N
25
= 0,096 N
Lapisan air
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 19 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N
iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 19 mL
25 mL
= 1,9 N=
0,076 N
25
2.
Corong 2
Lapisan Kloroform
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 23,80 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N
iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 23,80 mL
25 mL
= 2,38 N
25
= 0,0952 N
Lapisan air
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 19,40 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N
iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 19,40 mL
25
mL
= 1,94 N
25
= 0,0776 N
3.
Corong 3
Lapisan Kloroform
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 24 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny
: N
iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 24 mL
25 mL
= 2,4 N
25
= 0,096 N
Lapisan air
Dik : N
tio = 0,1 N
V tio = 19,20 mL
V iod = 25 mL
Dit : N
iod…?
Peny : N iod = (N x V) tio
V iod
= 0,1 N
x 19,20 mL
25 mL
= 1,92 N
25
= 0,0768 N
c.
Penentuan Tetapan Distribusi Iod (KD)
Konsentrasi Iod dalam Kloroform = C1
Konsentrasi Iod dalam air = C2
1)
Corong 1
Dik : C1 =
0,096 N
C2 =
0,076 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,096N
0,076 N
= 1,263
2)
Corong 2
Dik : C1 =
0,0952 N
C2 =
0,0776 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,0952
N
0,0776 N
= 1,227
3)
Corong 3
Dik : C1 =
0,0960 N
C2 =
0,0768 N
Dit : KD……?
Peny : KD = C1
C2
= 0,0960
N
0,0768 N
= 1,250
H.
Pembahasan
Percobaan tetapan distribusi iod dalam system kloroform-air dilakukan
dengan tujuan untuk menentukan tetapan distribusi iod dalam pelarut
air-kloroform dengan cara ekstraksi batch.
1.
Penentuan konsentrasi
iod sebenarnya
Penentuan konsentrasi iod sebenarnya dilakukan untuk
mengetahui konsentrasi iod sebenarnya sebelum
dan sesudah distandarisasi. Prinsip
dasar dalam percobaan ini yaitu didasarkan pada reaksi reduksi oksidasi, karena
percobaan ini dilakukan dengan cara titrasi iodimetri yaitu titrasi redoks secara
langsung yaitu iod secara langsung dititrasi oleh natrium tiosulfat tanpa
adanya penambahan pelarut berlebih. Prinsip
kerja dalam percobaan ini yaitu penitrasian.
Larutan iod merupakan larutan standar sekunder yang perlu
distandarisasi terlebih dahulu karena konsentrasinya mudah berubah atau tidak
stabil dalam penyimpanan. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH yang
rendah. Larutan iod merupakan suatu zat pereduksi
yang cukup kuat dengan persaman reaksi:
I2 + 2e 2I-
Larutan iod distandarisasi dengan larutan larutan standar Na2S2O3
karena merupakan larutan standar primer dan
merupakan pengoksidasi yang cukup kuat.
Reaksi natrium tiosulfat sebagai berikut:
Na2S2O3
2 Na+ + S2O32-
2 S2O32-
S4O62- + 2e–
Larutan iod yang distandarisasi dengan Na2S2O3
menghasilkan larutan yang berwarna kuning. Titrasi harus dilakukan dengan
cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodida oleh udara bebas dan juga
saat pengocokan dalam proses titrasi harus konstan dan cukup kuat untuk
menghindari terjadinya penumpukan tiosulfat yang dapat menyebabkan terjadinya
dekomposisi atau penguraian tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya
reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat
koloid. Pada saat melakukan titrasi ditambahkan indikator amilum. Pengocokan
pada saaat titrasi sangat diperlukan karena untuk menghindari penumpukan
tiosulfat pada area tertentu. Penggunaan indikator amilum pada percobaan ini karena
amilum merupakan indikator redoks khusus yang digunakan sebagai petunjuk telah
terjadi titik ekivalen pada titrasi iodometri. Hal ini disebabkan warna biru
gelap dari kompleks iodin amilum merupakan warna yang spesifik untuk titrasi
iodometri. Tujuan penambahan indikator amilum yaitu untuk
mengetahui titik akhir titrasi yang ditandai perubahan warna dari warna cokelat
menjadi bening dan juga untuk mengadsorbsi amilum dan meningkatkan kompleks
amilum I2 yang sangat lambat terdisosiasi.
Penambahan amilum dilakukan pada saat menjelang titik akhir titrasi untuk
mencegah banyaknya I2 yang terabsorbsi oleh amilum. Jika ditambahkan
diawal titrasi maka banyak I2 yang teradsorbsi oleh amilum. Pada
percobaan ini larutan berubah menjadi bening. Hal ini sesuai dengan teori
dimana jika terjadi perubahan warna menandakan bahwa semua iodida yang
dibebaskan telah bereaksi dengan natrium tiosulfat. Persamaan reaksinya adalah:
Oksidasi
: 2 S2O32-
S4O62- + 2e–
Reduksi
: I2 + 2e–
2 I–
Redoks
: 2 S2O32- + I2
S4O62- + 2 I–
Sehingga
reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(aq) + I2(s)
Na2S4O6(aq) + 2 NaI(s)
Titrasi
dilakukan sebanyak 3 kali agar data yang diperoleh lebih akurat dan untuk
membandingkan antara volume Na2S2O3 pada saat titrasi. Volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi 1,2, dan 3 berturut turut adalah 19,40 mL,
19,40 mL, dan 19,20 mL. Volume titran rata-rata yang
diperoleh adalah 19,33 mL dengan
normalitas iod sebesar 0,1933 N yang
berarti dalam 1 mL larutan terdapat 0,2176
mmol ekivalen iod. Hal ini tidak sesuai dengan nilai normalitas iod yang digunakan yaitu 0,1 N dan telah sesuai dengan
teori bahwa larutan iod merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya
mudah berubah-ubah dalam penyimpanan
2.
Penentuan tetapan distribusi iod
Penentuan
tetapan distribusi iod dilakukan untuk mengetahui
apakah zat I2 akan lebih lebih terdistribusi ke dalam fasa air atau
ke dalam fasa organik. Prinsip
dasar dari percobaan ini yaitu distribusi zat terlarut I2 ke dalam
dua pelarut yang tidak saling bercampur yaitu pelarut air-kloroform. Hal ini sesuai dengan
hukum Nerst, bahwa jika ke dalam sistem dua fasa cair yang tidak dapat saling
bercampur dimasukkan solut yang dapat bercampur ke dalam dua fasa cairan
tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Perbandingan konsentrasi I2
dalam kedua pelarut tetap dan merupakan ketetapan yang disebut dengan tetapan
distribusi atau Kd (Soebagio, 2002: 34). Prinsip
kerjanya adalah pencampuran,
pengocokan, pemisahan dan pengamatan.
Percobaan ini
dilakukan dengan mencampurkan larutan iod dengan kloroform kemudian dimasukkan ke dalam
corong pisah dan dikocok kuat-kuat agar iod dapat terdistribusi dengan sempurna
baik kedalam air maupun dalam kloroform. Air berasal dari larutan iod yang
sedikit masih mengandung air. Metode ini biasa disebut ekstraksi batch
(ekstraksi bertahap). Semakin lama dan semakin kuat kocokan maka iod yang
terdistribusi juga semakin banyak. Larutan kemudian didiamkan dan dibiarkan
terpisah hingga membentuk dua lapisan dalam corong pisah. Lapisan atas adalah
lapisan air yang berwarna ungu dan lapisan bawah adalah kloroform yang berwarna
coklat. Pemisahan ini terjadi karena perbedaan kepolaran dan massa jenis dari
kedua fasa tersebut, dimana air bersifat polar dan kloroform nonpolar. Dan juga
massa
jenis air 1 g/cm3 dan massa jenis kloform 1,49 g/cm³.
Masing-masing
lapisan kemudian dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,1
N. Titrasi larutan kloroform dilakukan tanpa penambahan indikator amilum karena
iod sudah bersifat autoindikator yaitu dapat menjadi indikator bagi dirinya
sendiri. Volume larutan Na2S2O3 yang
digunakan adalah 28,5 mL, 29 mL dan 28,5 mL. Kemudian lapisan air dititrasi
dengan Na2S2O3 lalu ditambahkan
indikator amilum. Selanjutnya dititrasi hingga larutan berwarna bening.
Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-
Oksidasi :
2 S2O32- S4O62-
+ 2e-
Reduksi :
I2 + 2e- 2
I-
Redoks :
2 S2O32- + I2 S4O62-
+ 2 I-
Adapun reaksi lengkapnya adalah:
2Na2S2O3(l)
+ I2(l) Na2S4O6(l)
+ 2 NaI(l)
Adapun
reaksi amilum yang terjadi pada lapisan I2 dalam air:
Hasil yang diperoleh yaitu pada lapisan CHCl3 volume tiosulfat yang digunakan pada titrasi
corong I yaitu 24,00 mL dengan konsentrasi Iodsebesar 0,096 N, corong II yaitu
23,80 mL dengan konsentrasi Iod sebesar 0,0952dan corong III yaitu 24,00 mL
dengan konsentrasi Iod sebesar 0,096 N. Dan pada lapisan air volume tiosulfat yang
digunakan pada titrasi corong I yaitu 19,00 mL dengan konsentrasi Iod sebesar
0,076 N, corong II yaitu 19,40 mL dengan konsentrasi Iod sebesar 0,0776 N dan
corong III yaitu 19,20 mL dengan konsentrasi Iod sebesar 0,0768 N.Perbedaan
normalitas iod yang terdistribusi dengan normalitas iod sebenarnya disebabkan
karena pengocokan yang kurang maksimal pada corong pisah dan cara pemisahannya
yang seringnya lapisan air bercampur
dengan lapisan kloroform.
koefisien
distribusi yang diperoleh pada
corong pisah pertama, Kd1 =1,263, corong pisah kedua Kd2
=1,227dan corong pisah ketiga Kd3 = 1,250. Diperoleh koefisien distribusi
iod Kd > 1, yang artinya
iod lebih banyak terdistribusi ke fase organik (kloroform) daripada ke fase
air. Reaksi yang terjadi
I2
(CHCl3) I2
(H2O)
2Na2S2O3
+ I2 2
NaI + Na2S4O6
I.
Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien distribusi iod dalam sistem
kloroform-air sebesar 1,246 yang menunjukkan bahwa iod lebih banyak terdistribusi ke dalam
kloroform.
2.
Saran
praktikan selanjutnya diharapkan agar melakukan titrasi dengan baik agar mendapat hasil
yang baik dan juga praktikan diharapkan lebih memanfaatkan waktu seefisien
mungkin agar praktikum dapat selesai sebelum batas waktu yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Basset
J., R.C. Denny., G.H.Jeffrey., dan J. Mendham. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik edisi 4.
Jakarta: EGC.
Khopkar. 2010. Konsep
Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Putranto,
Agus M.H., 2012. Metoda Ekstraksi Cair-Cair Sebagai Alternatif untuk
Pembersihan Lingkungan Perairan dari Limbah Cair Industri Kelapa Sawit. Jurnal Gradien. Vol. 8. No. 1
Pursitasari,
I.D. 2001. Kimia Analitik Dasar.
Bandung: Alfabeta.
Rahmayani,
Fatimah dan Siswarni MZ. 2013. Pemanfaatan Limbah Batang Jagung sebagai
Adsorben Alternatif pada Penguraian Kadar Klorin dalam Air Olahan (Treated
Water). Jurnal Teknik Kimia USU. Vol.
2, No. 2.
Suandi,
D.A.P., Ni M.S., dan Anak A.B.P. 2017. Analisis Bilangan Peroksida Minyak Sawit
Hasil Gorengan Tempe pada Berbagai Waktu Pemanasan dengan Titrasi Iodometri. Jurnal Kimia. Vol. 11. No. 1.
Soebagio.,
Endang Budiasih., M. Sodiq Ibnu., Hayuni Retno Widarti., dan Munzil. 2002. Kimia Analitik
II. Malang: Universitas Negeri Malang.
Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif
Makro Dan Semimikro. Jakarta: PT. Kalman Media Pusaka.
Tim Dosen Kimia
Analitik II. 2017. Penuntun Praktikum
Kimia Analitik II. Makassar: FMIPA UNM
0 comments:
Post a Comment